Tuesday, November 28, 2023

Ada Aturan Pengetatan Rokok, Penerimaan Negara Bakal Turun?

Pemerintah tengah menyusun rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 2023. Dalam aturan itu tertuang bagaimana pemerintah memperketat peredaran rokok di pasaran.
Lantas, apakah hal tersebut akan mempengaruhi penerimaan negara dari Cukai Hasil Tembakau (CHT)?

Kementerian Keuangan pun angkat bicara. Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo mengatakan pihaknya meyakini instrumen cukai saat ini sudah efektif untuk menekan konsumsi dan produksi rokok.

"Jadi, kami melihat dengan pengaturan yang ada saat ini itu sudah cukup memadai karena kita juga mempertimbangkan berbagai aspek tenaga kerjaan, keberlangsungan usaha, termasuk switching ke sektor-sektor lain juga harus kita perhitungan roadmap-nya," kata dia ditemui di Four Season Jakarta, Jakarta Selatan, Selasa (28/11/2023).

Yustinus mengatakan pihaknya juga terlibat dalam harmonisasi aturan tersebut dan telah memberikan masukannya. Namun, Kemenkeu menyerahkan selebihnya keputusan kepada Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perindustrian.

"Kami hanya memberikan masukan secara teknis, tapi kami tidak dalam posisi. Kami hanya memberikan masukan terkait pengaturan cukai yang efektif selama ini, terkait yang sudah dilakukan bea cukai aja, penindakan kepada rokok ilegal, lalu besaran tarif, penggulungan dan lain sebagainya," terang dia.

Sebagai informasi, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait turunan amanah UU No 17 tahun 2023 tentang Pengamanan Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.

Dalam aturan itu dimuat terkait pengamanan zat adiktif dalam produk tembakau, rokok elektronik, ketentuan desain, informasi kemasan, hingga pengendalian iklan rokok.

Kabarnya, aturan itu akan berdampak pada CHT. Dalam data terakhir Kementerian Keuangan, penerimaan CHT sampai dengan Oktober 2023 telah terkumpul Rp 163,2 triliun atau 72% dari total target tahun ini. Angka ini disebut turun sebanyak 4,3% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.

Penurunan produksi rokok sampai dengan Agustus sebesar 2,1% dan rata-rata tarif tertimbang justru turun 0,9% yang disebabkan turunnya produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan I.

Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) minta dilibatkan dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan. Meski penyusunan RPP Kesehatan merupakan kewenangan pemerintah, yaitu Kementerian Kesehatan (Kemenkes), tetapi pelibatan legislatif tetap dibutuhkan dalam fungsi pengawasan agar tidak bertentangan dengan payung hukumnya, yaitu UU Kesehatan.

"Kemarin (pekan lalu) rapat di Komisi IX dengan Menkes (Menteri Kesehatan) kita minta supaya kita juga melihat dan membaca. Ikut terlibat dalam proses pembentukan RPP itu. Cuma itu kan kewenangannya pemerintah. Paling tidak kami nanti tugasnya mengawasi," ucap Anggota Komisi XI DPR RI, Saleh Daulay.

Saleh melanjutkan keterlibatan DPR sebagai pihak yang mengesahkan UU Kesehatan ialah penting. Terutama, pada bagian aturan produk tembakau agar tidak ada lagi upaya menyetarakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika di RPP Kesehatan. Sebelumnya, DPR telah menghapus pasal yang menyeterakan produk tembakau dan dua produk tersebut di draft UU Kesehatan.

"Tapi, saya yakin bahwa pemerintah mampu secara bijaksana untuk tidak akan memasukkan pasal bermakna yang sama yang telah dihapus di UU Kesehatan dalam RPP Kesehatan. Jika, nanti RPP itu bertentangan dengan rujukannya dalam UU, maka RPP-nya tidak akan berlaku. Itu sederhana saja kok. Mana boleh aturan di bawahnya bertentangan dengan acuan yang di atas," ujar dia.

Draft RPP Kesehatan yang beredar saat ini disadari oleh banyak pihak seolah menyetarakan kembali produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika lantaran banyaknya rencana larangan bagi produk tembakau di aturan tersebut, mulai dari larangan promosi, iklan, mempersulit produksi, hingga penjualan.

Sumber : Finance.detik

No comments:

Post a Comment