Thursday, December 15, 2022

Mengatur Kas Negara pada Akhir Tahun Anggaran | PT Rifan Financindo

PT Rifan Financindo   -   Setiap menjelang akhir tahun anggaran, Kuasa Bendahara Umum Negara (BUN), dalam hal ini Ditjen Perbendaharaan, menerbitkan Perdirjen Perbendaharaan yang mengatur Langkah-Langkah Akhir Tahun Anggaran (LLAT). Latar belakang utama penerbitan aturan ini adalah manajemen kas negara. Kas yang dikelola oleh BUN dipastikan harus selalu tersedia untuk melaksanakan anggaran negara yang pagunya sudah ditetapkan dalam APBN.

Pemeliharaan ketersediaan kas ini harus dijaga seakurat mungkin agar tidak terlalu sedikit sehingga akan berisiko gagal bayar tagihan pemerintah atau bahkan terlalu banyak sehingga akan menimbulkan opportunity cost dari idle cash yang terbentuk. Oleh karena itu, perlu pengaturan yang mengikat untuk menjaga kas tersebut.

Overfinancing

Karena pemerintah menerapkan kebijakan fiskal anggaran defisit (kebijakan ekspansif), maka diperlukan pembiayaan untuk menutup defisit tersebut. Pembiayaan selalu dianggarkan sama besar dengan defisitnya dalam APBN. Tetapi, kenyataannya realisasi pembiayaan selalu lebih besar daripada defisit yang terjadi sehingga terjadi kondisi yang disebut overfinancing, ditandai dengan munculnya saldo SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) sampai dengan akhir tahun anggaran.

Kondisi overfinancing merupakan pemborosan karena pemerintah menarik pembiayaan melebihi yang dibutuhkan untuk menutup defisit anggaran. Sebagai informasi, sumber pembiayaan terbesar berasal dari utang. Penarikan utang yang melebihi kebutuhan akan menurunkan kapasitas fiskal pemerintah pada tahun selanjutnya karena utang yang ditarik pada tahun tersebut harus diangsur pokok dan bunganya pada periode selanjutnya.

Ketika kemampuan fiskal negara melemah seperti saat awal pandemi Covid-19 pada 2020 lalu, negara akan menghadapi risiko gagal bayar (kebangkrutan) seperti beberapa negara di dunia saat ini. Kondisi overfinancing bisa disebabkan karena ketidakakuratan peramalan kas (cash forecasting) ataupun memang disengaja untuk membiayai belanja di awal tahun selanjutnya.

Kas yang diterima pemerintah dari pendapatan pada awal tahun anggaran biasanya belum cukup untuk membiayai belanja pada masa tersebut sehingga pemerintah akan menarik utang pada akhir tahun anggaran sebelumnya untuk menutupi kekurangan kas yang akan terjadi. Sebaliknya, overfinancing akibat dari defiasi peramalan kas perlu ditekan seminimal mungkin untuk meningkatkan efisiensi pelaksanaan anggaran pemerintah. Salah satu strategi untuk meningkatkan akurasi cash forecasting ini adalah dengan penerapan LLAT.

Langkah-Langkah Akhir Tahun

LLAT pertama kali diberlakukan pada 2011 dengan diterbitkannya Perdirjen Perbendaharaan-Kemenkeu Nomor PER-73/PB/2011, kemudian masih berlanjut sampai saat ini melalui penerbitan Perdirjen Perbendaharaan Nomor PER-8/PB/2022. Umumnya, Perdirjen Perbendaharaan tentang LLAT ini mengatur tentang mekanisme dan penjadwalan penerimaan dan pengeluaran negara pada Triwulan IV, mulai dari awal Oktober sampai dengan akhir Desember.

Kondisi cash mismatch di mana realisasi pendapatan negara lebih kecil daripada pengeluarannya untuk transaksi bulan berjalan memang tidak bisa dihindari. Tetapi, hal ini bisa dikendalikan dengan meningkatkan akurasi cash forecasting melalui penerapan LLAT di akhir tahun anggaran.

Dalam Perdirjen Perbendaharaan tentang LLAT ini, setiap Kuasa BUN di tingkat Eselon 1 Kemenkeu akan membuat perencanaan kas untuk Desember tahun berkenaan, mulai dari pendapatan negara (Pajak, PNBP, dan Hibah), penerimaan pembiayaan (penarikan pinjaman, penerbitan Surat Berharga Negara), belanja negara, dan pengeluaran pembiayaan (pembayaran kewajiban utang).

Hasil perencanaan kas ini ditingkatkan akurasinya dengan cara menetapkan jadwal pelimpahan penerimaan kas dan jadwal pencarian pengeluaran negara yang bersifat mengikat. Keterlambatan dari jadwal ataupun kekurangan/kelebihan penerimaan/pengeluaran kas dari yang seharusnya akan dikenakan sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Sejak diterapkan pada 2011, kebijakan LLAT terbukti dapat menurunkan derajat overfinancing yang dilihat dari rasio SILPA terhadap defisit anggaran. Sebelum LLAT diterapkan, rasio overfinancing sangat tinggi hingga mencapai 95,43 persen pada akhir 2010. Ketika LLAT mulai diimplementasikan pertama kali pada akhir tahun anggaran 2011, rasio SILPA menurun menjadi 55,15 persen terhadap realisasi defisit.

Penurunan signifikan mulai terjadi pada implementasi LLAT tahun kedua di mana rasio SILPA terhadap defisit anggaran menurun drastis dan stabil di rasio 7-15 persen pada akhir 2012 - 2021. Anomali hanya terjadi pada akhir 2020 dengan rasio SILPA terhadap defisit sebesar 25,91 persen karena sulitnya menggenjot realisasi anggaran akibat pembatasan-pembatasan saat pandemi Covid-19 serta penarikan pembiayaan untuk belanja pengadaan vaksin tahun selanjutnya.

Strategi Alternatif

Walaupun sudah menurun drastis, namun SILPA masih selalu terjadi tiap tahunnya. Perlu strategi selain LLAT untuk menekan saldo atau bahkan menihilkan saldo SILPA ini ke depannya. Pemerintah bisa mengadopsi manajemen kas dari sektor swasta. Hakikatnya, cash mismatch ini berlangsung temporer, kadang terjadi surplus pada bulan berjalan, kemudian terjadi defisit pada bulan lainnya. Oleh karena itu, defisit yang terjadi pada bulan berjalan harusnya cukup dibiayai dengan utang jangka pendek.

Utang jangka pendek ini dapat berupa fasilitas kredit modal kerja dan/atau pinjaman giro yang diberikan bank sentral atau bank umum yang sewaktu-waktu bisa ditarik pemerintah melebihi saldo kas dalam Rekening Kas Umum Negara (RKUN) sampai dengan limit tertentu. Pemerintah dapat melunasi utang jangka pendek ini ketika terjadi surplus pada bulan berikutnya ataupun menarik utang jangka pendek dari sumber lain untuk membayar utang jangka pendek yang jatuh tempo pada bulan tersebut.

Strategi kedua, pemerintah dapat mendorong Satuan Kerja (Satker) memaksimalkan penggunaan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) untuk membayar belanja-belanja operasionalnya. Penggunaan KKP ini akan memudahkan Kuasa BUN untuk melakukan perencanaan kas karena adanya jeda antara tagihan KKP dengan jatuh temponya. Tagihan Kartu Kredit biasanya jatuh tempo 20 hari sejak tanggal penagihan.

Selain itu, Kuasa BUN juga diberikan hak akses untuk memonitor transaksi KKP seluruh Satker sehingga akan lebih mempermudah lagi Kuasa BUN merencanakan kas untuk beberapa hari ke depan. Penerapan KKP ini juga dapat menekan idle cash secara signifikan dari kas di rekening bendahara pengeluaran yang belum digunakan. Apalagi sebentar lagi KKP Domestik juga akan diterapkan untuk belanja APBN ataupun APBD.

Salah satu kelebihan KKP Domestik dibandingkan KKP yang digunakan Satker Pemerintah Pusat saat ini adalah dapat melakukan transaksi menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), sedangkan KKP yang ada saat ini hanya bisa melakukan pembayaran menggunakan Electronic Data Capture (EDC) dan metode pembayaran kartu kredit pada e-commerce dan transportasi daring. Kelebihan ini mempermudah KKP Domestik untuk menyasar pelaku UMKM untuk pengadaan/belanja operasional pemerintah karena metode pembayaran ini lebih umum digunakan daripada EDC.

Penerapan LLAT terbukti mampu menekan SILPA sampai rasio single digit. Pemerintah dapat semakin menekan SILPA ini dengan mengadopsi fasilitas kredit modal kerja atau jenis utang jangka pendek lainnya yang sudah umum dimanfaatkan oleh sektor swasta. Pemerintah juga bisa mempermudah cash forecasting sekaligus menekan idle cash dari Uang Persediaan (UP) Tunai di rekening Bendahara Pengeluaran dengan mendorong Satker untuk memaksimalisasi penggunaan KKP.


Sumber : news.detik

PT Rifan Financindo

No comments:

Post a Comment