Thursday, May 26, 2022

Begini Kondisi Rupiah Kalau Saja Hari Ini Tak Libur | PT Rifan Financindo

PT Rifan Financindo   -   Perdagangan mata uang rupiah pada Kamis (26/5/2022) hari ini tidak dibuka karena sedang libur nasional memperingati Hari Kenaikan Isa Almasih.

Namun jika rupiah dibuka pada hari ini, mata uang Garuda berpotensi kembali menguat, tetapi cenderung tipis-tipis saja. Hal ini karena dolar Amerika Serikat (AS) kembali menguat setelah dirilisnya hasil rapat bank sentral AS pada dini hari tadi.

Sedangkan di Asia, mata uangnya cenderung beragam pada hari ini. Yuan China, rupee India, yen Jepang, dan ringgit Malaysia melemah di hadapan sang greenback (dolar AS), sedangkan dolar Hong Kong, won Korea Selatan, peso Filipina, dan dolar Singapura mampu melawan sang greenback.


Pada perdagangan Rabu kemarin, berdasarkan data dari Refinitiv, rupiah ditutup menguat 0,17% ke level Rp 14.630/US$. Hal ini menjadi penguatan beruntun pertama sejak 19 April lalu.

Dolar AS kembali menguat setelah diumumkannya risalah rapat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) edisi Mei 2022 pada dini hari tadi. Dollar index, indeks yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia pun kembali menguat tipis 0,02%, setelah sehari sebelumnya sempat terkoreksi

The Fed memberikan sinyal terbaru terkait kenaikan suku bunga. Hal ini dilakukan mengingat inflasi negara itu yang masih berkembang.

Dalam sebuah risalah yang dikutip CNBC International, The Fed dilaporkan melihat perlunya menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bp). Bank sentral terkuat di dunia tersebut menyebut kenaikan serupa kemungkinan akan diperlukan pada beberapa pertemuan berikutnya.

"Sebagian besar peserta menilai bahwa kenaikan 50 basis poin dalam kisaran target kemungkinan akan sesuai pada beberapa pertemuan berikutnya," tulis risalah tersebut dikutip Kamis, (26/5/2022).

Pada sesi awal bulan lalu, Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) menyetujui kenaikan setengah poin persentase. FOMC juga menyusun rencana, mulai Juni, untuk mengurangi neraca sebesar US$ 9 triliun milik bank sentral.

Itu adalah kenaikan suku bunga terbesar dalam 22 tahun dan terjadi saat The Fed mencoba menurunkan inflasi yang mencapai level tertinggi 40 tahun.

Sementara itu, harga pasar saat ini melihat The Fed bergerak ke tingkat kebijakan sekitar 2,5% -2,75% pada akhir tahun. Namun, pernyataan dalam risalah menunjukkan bahwa panitia siap untuk melangkah lebih jauh dari itu.

"Semua peserta menegaskan kembali komitmen dan tekad kuat mereka untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memulihkan stabilitas harga," demikian ringkasan pertemuan tersebut.

"Untuk tujuan ini, para peserta sepakat bahwa Komite harus segera memindahkan sikap kebijakan moneter ke arah postur netral, melalui peningkatan kisaran target untuk suku bunga dana federal dan pengurangan ukuran neraca Federal Reserve," lanjutnya.

Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) pada Selasa lalu mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG), dan sesuai ekspektasi, suku bunga acuan masih dipertahankan di level 3,5%.

Namun, BI juga mengambil langkah-langkah guna menjaga stabilitas rupiah dengan mempercepat normalisasi kebijakan likuiditas dengan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) secara bertahap.

Sebelumnya di awal tahun ini, BI berencana mengerek GWM Pada Maret (100 basis poin), Juni (100 basis poin) dan September (50 basis poin), untuk bank umum konvensional (BUK) menjadi 6,5%

Dan untuk bank umum syariah (BUS) di September GWM menjadi 5%, dengan kenaikan masing-masing 50 basis poin.

BI kemudian mempercepat dan menaikkan lagi GWM. Untuk BUK, GWM yang saat ini 5% akan naik menjadi 6% di bulan Juni, kemudian 7,5% di bulan Juli dan 9% di bulan September.

Untuk BUS yang saat ini 4% naik menjadi 4,5% di Juni, 6% di Juli dan 7,5% di September.

Kenaikan tersebut diperkirakan akan menyerap likuiditas di perekonomian sebesar Rp 110 triliun.

"Secara keseluruhan ini memang dengan kenaikan GWM ini akan mengurangi likuiditas di perbankan sekitar Rp 110 triliun, namun rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tinggi sekira 28% sampai akhir tahun ini, masih jauh di atas rasio sebelum pandemi Covid yang sebesar 21%," jelas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Selasa (24/5/2022).

Penyerapan likuiditas tersebut diharapkan mampu membuat rupiah lebih stabil.



Sumber :  cnbcindonesia

PT Rifan Financindo

No comments:

Post a Comment