Tuesday, March 29, 2022

5G Setengah Hati | PT Rifan Financindo

PT Rifan Financindo  -  Implementasi teknologi 5G di Indonesia bak melalui jalan terjal nan berliku. Mulai dari regulasi, permintaan pasar hingga model bisnis yang pasti, jadi PR yang harus segera dibenahi jika tak mau disebut setengah hati.

Nasib 5G memang tak semanis pendahulunya. Ketika teknologi 4G dan 3G dirilis, gimmick marketing operator seluler untuk merayu pelanggan terbilang sederhana, yakni menjual video call hingga nonton video streaming anti lemot (buffering). Namun ketika 5G dirilis, pasar sepertinya masih adem ayem menyambutnya. Gimmick marketing yang digaungkan pun belum benar-benar menancap ke kepala.

Memang, hal ini tak bisa disalahkan ke operator seluler seorang sebagai pemilik layanan. Toh, dalam industri seluler mengenal yang namanya kolaborasi DNA (device, network dan application). Nah, kesuksesan 5G pun masih bergantung pada faktor DNA ini, dimana sekarang mereka terkesan masih wait and see.

Direktur Network Telkomsel Nugroho mengakui, edukasi implementasi 5G masih panjang. Dimana saat ini pembangunan jaringan dilakukan lebih dulu, kemudian menyusul handset (HP) dan aplikasi di dalamnya. "Namun yang paling utama adalah needs (kebutuhan) dari user, ada gak?" tukas Nugi, sapaan akrabnya, saat ditemui di sela MotoGP Mandalika, Lombok.

Nugi lantas mengambil contoh suksesnya registrasi prabayar, terlepas dari plus minusnya. "Kenapa itu (registrasi prabayar-red.) sukses? Ya karena pelanggan butuh, kalau gak daftar maka nomornya akan dimatikan. Jadi untuk 5G kita juga harus menciptakan needs ini," lanjutnya.

Kebutuhan ini bisa datang dari mana saja. Mulai dari kecepatan internet, pengalaman sampai lahirnya konten/aplikasi favorit yang digunakan masyarakat sehingga memmbutuhkan kemampuan teknologi 5G. "Harus diakui, kebutuhan (needs-red.) akan 5G ini masih dicari killer content-nya," Nugi menambahkan.

Alhasil, sebagai langkah alternatif, Telkomsel mengambil pendekatan pemasaran 5G ke industri secara business to business (B2B). Lewat solusi humanoid robot, 5G drone, virtual reality hingga AR Industrial Work Instruction. Meskipun investasi di awal bagi industri ini terbilang lumayan besar, tetapi edukasi terkait azas manfaatnya terus digaungkan.

Selain itu, peran regulasi pun disebut Nugi menjadi faktor penting lainnya. Sebagai gambaran, China berhasil membangun 2 juta site yang sudah support 5G lantaran kebijakan pemerintahnya. Khususnya terkait komitmen pembangunan jaringan dan frekuensi yang digunakan.

Untuk urusan frekuensi ini, Kementerian Kominfo pun sejatinya sudah menegaskan bahwa jaringan 5G di Indonesia disiapkan untuk low band seperti pada pita frekuensi 700 MHz, middle band seperti pita frekuensi 3,5 GHz dan 2,6 GHz, serta high band pada pita frekuensi 26 GHz dan 28 GHz.

Dimana tiga layer pita frekuensi tersebut memiliki manfaat yang berbeda-beda, sehingga bisa saling support. Untuk low band, frekuensinya di bawah 1 GHz, cocok untuk pemerataan coverage karena sangat efisien, jangkauan sangat luas dan untuk perkotaan sangat bermanfaat untuk interpenetration. Pita frekuensi di bawah 1 GHz juga bisa menjadi solusi apabila sinyal kurang bagus ketika masyarakat masuk ke suatu area publik atau gedung.

Kemudian, pada layer kedua (middle band) berada di antara frekuensi 1 sampai 6 GHz, sebetulnya adalah pertengahan. Jangkauannya dapat, kapasitasnya juga lebih besar daripada yang low band. Sedangkan di high band berada di frekuensi 26 GHz dan 28 GHz, memiliki keunggulan dimana jaringan 5G bisa lebih responsif dan latensinya 1 milimeter per second dengan pick data rate mencapai 20 Gbps alias jauh lebih ngebut!

Namun tentu saja semua pita frekuensi tersebut belum sepenuhnya 'bebas' alias masih digunakan hal lain sehingga belum bisa dimanfaatkan operator untuk 5G. Sebab saat ini, Telkomsel masih menggunakan frekuensi 2,1 GHz dan 2,3 GHz untuk komersialisasi 5G. Sementara Indosat dan XL bermain di frekuensi 1,8 GHz.

Implementasi teknologi 5G di Indonesia bak melalui jalan terjal nan berliku. Mulai dari regulasi, permintaan pasar hingga model bisnis yang pasti, jadi PR yang harus segera dibenahi jika tak mau disebut setengah hati.
Nasib 5G memang tak semanis pendahulunya. Ketika teknologi 4G dan 3G dirilis, gimmick marketing operator seluler untuk merayu pelanggan terbilang sederhana, yakni menjual video call hingga nonton video streaming anti lemot (buffering). Namun ketika 5G dirilis, pasar sepertinya masih adem ayem menyambutnya. Gimmick marketing yang digaungkan pun belum benar-benar menancap ke kepala.

Memang, hal ini tak bisa disalahkan ke operator seluler seorang sebagai pemilik layanan. Toh, dalam industri seluler mengenal yang namanya kolaborasi DNA (device, network dan application). Nah, kesuksesan 5G pun masih bergantung pada faktor DNA ini, dimana sekarang mereka terkesan masih wait and see.

Direktur Network Telkomsel Nugroho mengakui, edukasi implementasi 5G masih panjang. Dimana saat ini pembangunan jaringan dilakukan lebih dulu, kemudian menyusul handset (HP) dan aplikasi di dalamnya. "Namun yang paling utama adalah needs (kebutuhan) dari user, ada gak?" tukas Nugi, sapaan akrabnya, saat ditemui di sela MotoGP Mandalika, Lombok.

Nugi lantas mengambil contoh suksesnya registrasi prabayar, terlepas dari plus minusnya. "Kenapa itu (registrasi prabayar-red.) sukses? Ya karena pelanggan butuh, kalau gak daftar maka nomornya akan dimatikan. Jadi untuk 5G kita juga harus menciptakan needs ini," lanjutnya.

Kebutuhan ini bisa datang dari mana saja. Mulai dari kecepatan internet, pengalaman sampai lahirnya konten/aplikasi favorit yang digunakan masyarakat sehingga memmbutuhkan kemampuan teknologi 5G. "Harus diakui, kebutuhan (needs-red.) akan 5G ini masih dicari killer content-nya," Nugi menambahkan.

Alhasil, sebagai langkah alternatif, Telkomsel mengambil pendekatan pemasaran 5G ke industri secara business to business (B2B). Lewat solusi humanoid robot, 5G drone, virtual reality hingga AR Industrial Work Instruction. Meskipun investasi di awal bagi industri ini terbilang lumayan besar, tetapi edukasi terkait azas manfaatnya terus digaungkan.

Selain itu, peran regulasi pun disebut Nugi menjadi faktor penting lainnya. Sebagai gambaran, China berhasil membangun 2 juta site yang sudah support 5G lantaran kebijakan pemerintahnya. Khususnya terkait komitmen pembangunan jaringan dan frekuensi yang digunakan.

Untuk urusan frekuensi ini, Kementerian Kominfo pun sejatinya sudah menegaskan bahwa jaringan 5G di Indonesia disiapkan untuk low band seperti pada pita frekuensi 700 MHz, middle band seperti pita frekuensi 3,5 GHz dan 2,6 GHz, serta high band pada pita frekuensi 26 GHz dan 28 GHz.


Dimana tiga layer pita frekuensi tersebut memiliki manfaat yang berbeda-beda, sehingga bisa saling support. Untuk low band, frekuensinya di bawah 1 GHz, cocok untuk pemerataan coverage karena sangat efisien, jangkauan sangat luas dan untuk perkotaan sangat bermanfaat untuk interpenetration. Pita frekuensi di bawah 1 GHz juga bisa menjadi solusi apabila sinyal kurang bagus ketika masyarakat masuk ke suatu area publik atau gedung.

Kemudian, pada layer kedua (middle band) berada di antara frekuensi 1 sampai 6 GHz, sebetulnya adalah pertengahan. Jangkauannya dapat, kapasitasnya juga lebih besar daripada yang low band. Sedangkan di high band berada di frekuensi 26 GHz dan 28 GHz, memiliki keunggulan dimana jaringan 5G bisa lebih responsif dan latensinya 1 milimeter per second dengan pick data rate mencapai 20 Gbps alias jauh lebih ngebut!

Namun tentu saja semua pita frekuensi tersebut belum sepenuhnya 'bebas' alias masih digunakan hal lain sehingga belum bisa dimanfaatkan operator untuk 5G. Sebab saat ini, Telkomsel masih menggunakan frekuensi 2,1 GHz dan 2,3 GHz untuk komersialisasi 5G. Sementara Indosat dan XL bermain di frekuensi 1,8 GHz.


Sumber : Int.detik

PT Rifan Financindo

No comments:

Post a Comment