Tuesday, August 29, 2023

Ahli Pihak Lukas Enembe Bicara soal Risiko Salah Analisis di Kasus Gratifikasi

PT Rifan - Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe menghadirkan ahli perhitungan kerugian keuangan negara bernama Hernold Ferry Makawimbang sebagai ahli meringankan dalam sidang kasus suap dan gratifikasi. Dalam keterangannya, Hernold menyebut ada risiko salah analisis rekening di kasus gratifikasi.

Hal itu disampaikan Hernold saat dimintai keterangan sebagai saksi meringankan di PN Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (30/8/2023). Mulanya, Hernold bicara soal barang bukti dalam suatu kasus haruslah relevan dan terukur.

"Salah satu keahlian ahli adalah pemeriksa investigasi. Saya ingin memberi suatu ilustrasi bahwa dalam suatu penerimaan gratifikasi terhadap seorang pejabat. Untuk menginvestigasi mengenai aliran uang yang berputar ke beberapa tempat dan orang, untuk mengetahui muaranya kepada penerima, investigasi yang diperlukan apakah harus ada barang buktinya yang diterima oleh pejabat itu? Kalau Anda sebagai investigator, dalam menelusuri suatu aliran uang yang berputar kepada beberapa pihak dan di berbagai tempat, pertanyaannya apakah hasil investigasi, barang yang disebut hadiah atau gratifikasi harus dipastikan fisiknya ada dan diterima oleh pejabat yang dimaksud? Bisa Saudara menjelaskan?" tanya salah satu penasihat hukum Lukas.

"Baik, Yang Mulia, investigator itu bahasa Indonesianya penyidik sebenarnya, cuma ini pemeriksa. Di BPK itu kalau kami melakukan investigasi, misalnya testimoni itu baru informasi awal, harus kita buktikan lebih dalam lagi tentang bendanya, barangnya, kemudian bagaimana dia berikan, apa yang dia terima," jawab Hernold.

"Jadi, walaupun BPK menyimpulkan tentang pengelolaan keuangan negara, ini bisa saja bagian dari perbuatan melawan hukum di Pasal 14 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Pasal 13 tentang Kesimpulan Kerugian Negara. Jadi bukti itu harus terukur, yang relevan, admissible (dapat diterima), nggak bisa kita mengira-ngira. Kalau tidak ada bukti, itu sangat berisiko dalam suatu pengungkapan bukti kasus. Jadi harus ada bukti yang relevan dan admissible, yang terukur," sambungnya.

Hernold kemudian berpendapat kasus gratifikasi perlu dibuktikan dengan jelas. Hernold menyebut kasus suap dan gratifikasi akan efektif jika diusut lewat operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK.

"Dalam melakukan investigasi untuk menyimpulkan adanya gratifikasi, apakah barang bukti yang disebut hadiah karena hasil investigasi haruskan terang-benderang dan diperlihatkan dalam persidangan? Kalau tidak diperlihatkan, apa pendapat Saudara?" tanya anggota tim penasihat hukum Lukas.

"Ini pendapat, Yang Mulia, kalau di BPK kan tidak pernah memeriksa gratifikasi. Tapi pengalaman saya untuk beberapa kasus di kejaksaan bahwa kita tidak bisa membuktikan pemberian kalau tidak ada bendanya, harus terukur dia sudah terima, dia sudah berikan uangnya. Makanya kalau KPK melaksanakan Pasal 11, 12a, itu lebih efektif kalau tertangkap tangan karena duit itu jelas ada," jawab Hernold.

Hernold juga bicara soal pembuktian kasus gratifikasi melalui analisis rekening sangat sensitif. Menurut Hernold, analisis rekening berisiko salah analisis.

"Kalau analisa rekening itu sangat sensitif. Tapi kalau tertangkap tangan, tidak bisa dibantah, uang ini ada dari siapa yang memberikan dan siapa yang menerima. Tapi kalau analisa rekening dari mana, ini sangat berisiko salah analisa dan informasi," tuturnya.

Lukas Didakwa Suap-Gratifikasi Rp 46,8 M
Lukas Enembe didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 46,8 miliar. Jaksa mengatakan suap dan gratifikasi itu diterima dalam bentuk uang tunai dan pembangunan atau perbaikan aset milik Lukas.

"Yang melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan menerima hadiah atau janji, yaitu menerima hadiah yang keseluruhannya Rp 45.843.485.350 (Rp 45,8 miliar)," kata jaksa saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (19/6).

Jaksa mengatakan Lukas menerima uang Rp 10,4 miliar dari Piton Enumbi selaku pemilik PT Melonesia Mulia. Kemudian, Lukas juga menerima Rp 35,4 miliar dari Rijatono Lakka selaku Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo.

Jaksa menyebut suap itu diberikan agar Lukas selaku Gubernur Papua memenangkan perusahaan yang digunakan Piton Enumbi dan Rijantono dalam proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemprov Papua. Jaksa mengatakan suap itu terjadi pada 2018.

Jaksa mengatakan suap dari Rijatono itu terbagi dalam uang Rp 1 miliar dan Rp 34,4 miliar dalam bentuk pembangunan atau renovasi aset Lukas. Aset itu antara lain hotel, dapur katering, kosan hingga rumah.

Lukas juga didakwa menerima gratifikasi Rp 1 miliar. Duit itu diterima Lukas dari Budy Sultan selaku Direktur PT Indo Papua melalui Imelda Sun. Jaksa mengatakan Lukas tidak melaporkan penerimaan uang itu ke KPK sehingga harus dianggap suap.

Atas perbuatannya, Lukas didakwa Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP dan Pasal 12B UU Pemberantasan Korupsi.


Sumber : Finance.detik

No comments:

Post a Comment